Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah
mengemban misi Islam, tak bisa dilepaskan dari sosok para pemuda di
sekelilingnya. Sebut saja misalnya seorang penulis wahyu.Orangnya masih belia,
seumur anak-anak SD sekarang. Tetapi, Allah ternyata memberikan keistimewaan
kepadanya. Ia memiliki kecerdasan dan ketajaman berpikir yang luar
biasa. Semangat pantang menyerah dan semangat berkorban di jalan Islam tak diragukan
lagi lekat kepadanya. Rasulullah memberikan penilaian khusus, dan karenanya
termasuk di antara sahabat yang paling disayang Nabi SAW. Siapakah dia? Tak
bukan dan tak lain ia adalah Zaid bin Tsabit.
Dilahirkan pada tahun 10 sebelum
hijrah, Zaid dan keluarganya berasal dari kabilah Bani An-Najjar. Keluarganya
termasuk kelompok awal penduduk madinah yang menerima Islam. Di bawah bimbingan
dan pendidikan orang tuanya, Zaid tumbuh menjadi seorang pemuda cilik yang cerdas dan
berwawasan luas.
Suatu ketika, Zaid kecil ditolak
Rasulullah bergabung dalam keprajuritan karena usianya yang masih belia. Lalu
Zaid memilih jalan untuk menghafal dan memperdalam Alquran. Kebetulan, Zaid
kecil memang diberi anugerah kelebihan dan ketajaman berpikir. Aktivitasnya ini
ia utarakan kepada sang ibu, Nuwair binti Malik. Dengan senang hati, sang ibu
pun mendukung penuh. Melalui Nuwair, famili yang lain diberitahu perihal
kegiatan anaknya itu. Mereka pun setuju.
Kepada Rasulullah, mereka
mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini anak kami. Dia hafal 17 surat
Alquran. Bacaannya betul, sesuai yang diturunkan Allah kepada Anda. Selain itu,
dia pandai pula
membaca dan menulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya
lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang dia miliki, dan
ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki silakan dengarkan
bacaannya.”
Rasulullah pun langsung mendengarkan
bacaannya. Benar, ternyata bacaan Zaid sangat bagus dan fasih. Rasulullah
gembira lantaran apa yang diucapkan dan didengarnya langsung dari Zaid melebihi
dari apa yang dikatakan familinya tersebut. “Jika engkau mau selalu dekat
denganku, pelajarilah baca tulis bahasa Ibrani. Saya tidak percaya kepada orang
Yahudi yang menguasai bahasa tersebut, bila mereka saya diktekan sebagai sekretaris
saya,” kata Rasulullah. Anak kecil itu pun menyanggupi tawaran Nabi SAW. Dalam
waktu sekejab, bahasa Ibrani ia kuasai. Sejak saat itu, Zaid tampil menjadi
sekretaris Nabi SAW sekaligus salah satu pencatat wahyu yang diterima
Rasulullah.
Zaid bukan saja dikenal sebagai
penerjemah dan pencatat wahyu Rasul, ia juga dikenal di kalangan para sahabat
sebagai tempat umat Islam bertanya ihwal Alquran sesudah Rasulullah wafat.
Selain pada masa Abu Bakar, Zaid juga menjadi ketua kelompok penghimpun Alquran
masa kekhalifahan ketiga, Utsman bin Affan. Khalifah Umar bin Khaththab pun
mengakui Zaid sebagai tempat rujukan para sahabat tentang Alquran. Berkah
keberadaan Zaid tak terbatas pada posisinya sebagai rujukan Alquran. Ia pun
sebagai sumber solusi suatu persoalan.
Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar,
Zaid bin Tsabit mendapat tugas sangat penting untuk membukukan Alquran. Abu
Bakar Ra memanggilnya dan mengatakan, “Zaid, engkau adalah seorang penulis
wahyu kepercayaan Rasulullah, dan engkau adalah pemuda cerdas yang kami
percayai sepenuhnya.Untuk itu aku minta engkau dapat menerima amanah untuk
mengumpulkan ayat-ayat Alquran dan membukukannya. Zaid, yang tak pernah menduga
mendapat tugas seperti itu. Akhirnya setelah melalui musyawarah yang ketat, Abu
Bakar Ra dan Umar bin Khaththab dapat meyakinkan Zaid bin Tsabit dan sahabat
yang lain, bahwa langkah pembukuan ini adalah langkah yang baik.
Dengan pertimbangan-pertimbangan
inilah, Zaid bin Tsabit menyetujui tugas ini dan segera membentuk tim khusus.
Zaid membuat dua butir outline persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian
Khalifah Abu Bakar menambahkan satu persyaratan lagi. Jadilah ketiga
persyaratan tersebut:
Pertama, ayat/surat tersebut harus
dihafal paling sedikit dua orang. Kedua, harus ada dalam bentuk tertulisnya (di
batu, tulang, kulit dan bentuk hardcopy lainnya). Ketiga, untuk yang tertulis,
paling tidak harus ada dua orang saksi yang melihat saat dituliskannya. Dengan
persyaratan tersebut, Zaid bin Tsabit memulai pekerjaan berat ini dan membawahi
beberapa sahabat lain. Pengumpulan dan pembukuan dapat diselesaikan masih pada
masa Kekhalifahan Abu Bakar.