Powered By Blogger

Minggu, 23 Maret 2014

Zaid Bin Tsabit


Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah mengemban misi Islam, tak bisa dilepaskan dari sosok para pemuda di sekelilingnya. Sebut saja misalnya seorang penulis wahyu.Orangnya masih belia, seumur anak-anak SD sekarang. Tetapi, Allah ternyata memberikan keistimewaan kepadanya. Ia memiliki kecerdasan dan ketajaman berpikir yang luar biasa. Semangat pantang menyerah dan semangat berkorban di jalan Islam tak diragukan lagi lekat kepadanya. Rasulullah memberikan penilaian khusus, dan karenanya termasuk di antara sahabat yang paling disayang Nabi SAW. Siapakah dia? Tak bukan dan tak lain ia adalah Zaid bin Tsabit.
Dilahirkan pada tahun 10 sebelum hijrah, Zaid dan keluarganya berasal dari kabilah Bani An-Najjar. Keluarganya termasuk kelompok awal penduduk madinah yang menerima Islam. Di bawah bimbingan dan pendidikan orang tuanya, Zaid tumbuh menjadi seorang pemuda cilik yang cerdas dan berwawasan luas.
Suatu ketika, Zaid kecil ditolak Rasulullah bergabung dalam keprajuritan karena usianya yang masih belia. Lalu Zaid memilih jalan untuk menghafal dan memperdalam Alquran. Kebetulan, Zaid kecil memang diberi anugerah kelebihan dan ketajaman berpikir. Aktivitasnya ini ia utarakan kepada sang ibu, Nuwair binti Malik. Dengan senang hati, sang ibu pun mendukung penuh. Melalui Nuwair, famili yang lain diberitahu perihal kegiatan anaknya itu. Mereka pun setuju.
Kepada Rasulullah, mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini anak kami. Dia hafal 17 surat Alquran. Bacaannya betul, sesuai yang diturunkan Allah kepada Anda. Selain itu, dia pandai pula  membaca dan menulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang dia miliki, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki silakan dengarkan bacaannya.”
Rasulullah pun langsung mendengarkan bacaannya. Benar, ternyata bacaan Zaid sangat bagus dan fasih. Rasulullah gembira lantaran apa yang diucapkan dan didengarnya langsung dari Zaid melebihi dari apa yang dikatakan familinya tersebut. “Jika engkau mau selalu dekat denganku, pelajarilah baca tulis bahasa Ibrani. Saya tidak percaya kepada orang Yahudi yang menguasai bahasa tersebut, bila mereka saya diktekan sebagai sekretaris saya,” kata Rasulullah. Anak kecil itu pun menyanggupi tawaran Nabi SAW. Dalam waktu sekejab, bahasa Ibrani ia kuasai. Sejak saat itu, Zaid tampil menjadi sekretaris Nabi SAW sekaligus salah satu pencatat wahyu yang diterima Rasulullah.
Zaid bukan saja dikenal sebagai penerjemah dan pencatat wahyu Rasul, ia juga dikenal di kalangan para sahabat sebagai tempat umat Islam bertanya ihwal Alquran sesudah Rasulullah wafat. Selain pada masa Abu Bakar, Zaid juga menjadi ketua kelompok penghimpun Alquran masa kekhalifahan ketiga, Utsman bin Affan. Khalifah Umar bin Khaththab pun mengakui Zaid sebagai tempat rujukan para sahabat tentang Alquran. Berkah keberadaan Zaid tak terbatas pada posisinya sebagai rujukan Alquran. Ia pun sebagai sumber solusi suatu persoalan.
Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar, Zaid bin Tsabit mendapat tugas sangat penting untuk membukukan Alquran. Abu Bakar Ra memanggilnya dan mengatakan, “Zaid, engkau adalah seorang penulis wahyu kepercayaan Rasulullah, dan engkau adalah pemuda cerdas yang kami percayai sepenuhnya.Untuk itu aku minta engkau dapat menerima amanah untuk mengumpulkan ayat-ayat Alquran dan membukukannya. Zaid, yang tak pernah menduga mendapat tugas seperti itu. Akhirnya setelah melalui musyawarah yang ketat, Abu Bakar Ra dan Umar bin Khaththab dapat meyakinkan Zaid bin Tsabit dan sahabat yang lain, bahwa langkah pembukuan ini adalah langkah yang baik.
Dengan pertimbangan-pertimbangan inilah, Zaid bin Tsabit menyetujui tugas ini dan segera membentuk tim khusus. Zaid membuat dua butir outline persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian Khalifah Abu Bakar menambahkan satu persyaratan lagi. Jadilah ketiga persyaratan tersebut:
Pertama, ayat/surat tersebut harus dihafal paling sedikit dua orang. Kedua, harus ada dalam bentuk tertulisnya (di batu, tulang, kulit dan bentuk hardcopy lainnya). Ketiga, untuk yang tertulis, paling tidak harus ada dua orang saksi yang melihat saat dituliskannya. Dengan persyaratan tersebut, Zaid bin Tsabit memulai pekerjaan berat ini dan membawahi beberapa sahabat lain. Pengumpulan dan pembukuan dapat diselesaikan masih pada masa Kekhalifahan Abu Bakar.

Prosa


Belum Berjudul
Aku duduk di bebatuan dan menyendiri tak mengerti akan pikiran dan hatiku. Dalam sendiri terselimuti perih, tak  terkira muncul pelangi dibalik udara yang menusuk dan suasana yang gelap dengan sunyi kelabu malam. Ku pandangi pelangi itu, dia mewarnai dan menyinari bagai mentari dan nampak mengudara dalam haluan jiwa. Hingga ku berjalan meyusuri malam dan  bertanya pada sepi, ku tuliskan pada kelam ,mungkinkah itu pelangi?? Namun mereka tidak tahu dan membisu. Dalam langkah-langkah kaki aku melangkah, ku ceritakan pada samudera gelap, ku singgahi langit hitam, hingga tersandar kembali kedaratan, tetapi  hanya diam yang terungkapkan.
Diri dan jiwa ini menyusuri  tepian pepohonan dengan air yang sunyi dan pasir-pasir kecil yang menggelitik, hatiku seakan melayang yang membutakan mata ,memekakkan telinga hingga terasa mematahkan sendi-sendi untuk berjalan. Laut pun menertawakanku ,disekitarku terbahak-bahak melihat diriku yang terbelenggu mencari rasa itu.
Aku berlari  menjauh ke utara, tiba-tiba senyuman pelangi itu muncul. Jantung tak menahan, hanya seiring embun yang bertahan. Pelangi itu benar-benar menyinari langit ,menghangatkan udara dan meredakan suasana. Aku  coba untuk mendekatinya dengan irama yang tak biasa, aku sapa warnanya, ku pandang diamnya dan ku tanya namanya. Namun pelangi itu pergi, menutupi hati namun berseri. Kecewa kurasakan, tangis ingin terkeluarkan dan  merunduk lah jiwa ini. Burung-burung menghampiriku, daun-daun berbisik ,gemercik air berteriak dan langit seakan ingin menyapa, bahwa pelangi itu hanya khayal jiwamu yang senantiasa mendampingimu dalam kelam malam yang selalu menjemput disetiap kesendirian hati, jiwa dan pikiranmu.


                 

Selasa, 11 Maret 2014

Maafkan.


27 Februari 2014

Maafkan aku.
Aku tak bisa membayangkan bila aku harus kehilangan mereka. Aku tak bisa membayangkan bila aku harus berpisah dengan mereka. Aku tak tahu seberapa banyak tetesan air mata yang keluar dari tangisanku. Apa aku kuat dengan hari itu? Apa aku tabah dengan semua itu? Aku tak benar-benar yakin untuk dapat sabar dan kuat saat aku harus kehilangan mereka. Aku menangis.. Air mataku tertumpah.. saat membayangkan hal itu terjadi. Aku merasa takut tidak bisa bertemu mereka kembali. Aku merasa sedih untuk tidak bisa membahagiakan mereka. Aku takut mereka terluka dengan perbuatanku sebelum aku membuat mereka bahagia. Aku tak ingin mereka bersedih melihatku.
Aku ingin sekali membahagiakan mereka sebelum hari-hari itu tiba. Aku ingat perjuangan, pengorbanan, tangisan dan nasehat mereka. Mereka sangat ingin ingin melihat aku bahagia. Mereka sangat peduli padaku. Mereka tak ingin aku gagal. Aku tahu sekali, mereka harus mengorbankan tidur mereka, mengorbankan tenaga mereka hanya utntuk kebahagiaanku. Aku takut sekali…
Aku takut melihat bendera kuning dirumahku berkibar. Aku takut ada sebuah kabar aku harus pulang ke rumah secepatnya. Aku tak ingin melihat rumahku ramai orang yang membawa tangisan. Aku belum siap..
Aku tak bisa membayangkan, saat kabar itu datang. Betapa aku harus menangis.. Aku tak ingin melihat mereka terbujur kaku di ruang tamu rumahku. Aku belum siap memeluk mereka dalam keadaan aku belum membahagiakan mereka. Apa yang ada dibenakku kelak.. Aku tak bisa memikirkan aku berlari pulang sedangkan aku belum meminta maaf kepada mereka. Teman-temanku hanya bisa mengatakan sabar. Tapi aapa aku kuat?
Andai aku bisa memilih, lebih baik aku saja yang dipanggil dahulu. Aku takut aku tak bisa menerimanya. Aku belum cukup kuat.
Aku ingat Ayahku, Ayahku selalu berjuang untuk kesuksesanku. Dia berjuang demi aku. Aku merasa kasihan padanya. Aku tak ingin melihatnya kecewa. Aku tak ingin seperti anak muda lain yang selalu meminta. Aku tak ingin seperti anak muda lain yang mengabaikan pengorban seorang Ayah. Ayahku sangat baik.. Ayahku sangat mulia.Aku tak ingin melihatnya pergi untuk selamanya. Aku belum memberikan apapun kepada Ayahku. Aku belum berbalas budi kepadanya. Aku ingat perkataannya, "Ayah sangat berjuang untuk kuliahmu, kamu berjuang, lihat Ayah mengorbankan semuanya hanya untukmu. Jangan mengecewakan kuliahmu. Ayah ingin melihatmu sukses. Aku terharu dalam hati aku menangis.
Aku ingat Ibuku, seorang Ibu terbaik di dunia ini. Setiap waktu selalu menasehatiku. Selalu berjuang demi anak-anaknya sukses. Bahkan Ibuku selalu peduli denganku. Ibu tak ingin melihat ku gagal. Aku merasa berdosa bila melihat Ibuku.
Ya Allah, jangan Engkau panggil mereka terlebih dahulu. Aku belum cukup kuat. Aku belum dapat membahagiakan mereka. Aku ingin sekali melihat mereka tersenyum dengan keberhasilanku. Aku ingin membalas segala kebaikannya. Aku ingin melihat mereka tersenyum dalam tangisannya. Aku tak sanggup bila Engkau harus memanggil mereka. Aku tak ingin terpisah..
Aku sangat beruntung terlahir dalam keluarga ini. Aku sangat bersyukur. Aku yakin mereka saat aku sedang menulis ini, mereka tak bisa tidur, mereka tak nyenyak tidur memikirkan diriku. Memikirkan biaya-biaya untuk keperluan anak-anaknya. Aku tersadar mereka adalah kekayaan bagiku. Aku merasa bersyukur. Lihat teman-temanku yang bernasib tak sama denganku. Teman-temanku harus berpisah terlebih dahulu dengan orang tua mereka. Sedih mendengarnya.. Aku tak bisa membayangkan itu terjadi kepadaku kelak. Bila Engkau saat memanggil Ayah dan Ibuku, Aku ingin saat aku sudah membuat mereka merasa bahagia.
Ada yang ingin engkau ketahui wahai Ayah, wahai Ibu, Aku sangat mencintaimu, sangat menyayangimu. Aku takut kehilangan senyumanmu kalian. Aku takut berpisah dengan keceriaan kalian. Aku tak ingin melihat kalian bersedih. Aku hanya ingin Ayah Ibu bahagia dunia akherat. Aku akan selalu mendo'akan kalian. Dalam setiap do'aku selalu ada kalian. Ayah, Ibu tenang saja. Aku akan berjuang seperti kalian yang selalu berkorban demi diriku. Jangan pernah meninggalkanku dahulu. Aku masih perlu dibimbing, dimanja, diarahkan. Aku tak ingin menyesal..